Ketika Kayuhan Menjadi Gerakan, Cerita di Balik Lahirnya Becak Listrik Yogyakarta
|  | 
| Gambar : warta.jogjakota.go.id | 
Jika ada satu kendaraan yang paling identik dengan Yogyakarta, jawabannya bukan mobil atau sepeda motor, melainkan becak. Bentuknya sederhana, lajunya pelan, tapi kehadirannya selalu mengundang rasa hangat.
Becak bukan hanya alat transportasi, tapi bisa dibilang pengalaman budaya. Duduk di atasnya, seolah diajak kembali ke masa di mana waktu berjalan lebih lambat dan manusia masih saling menyapa tanpa tergesa-gesa.
Namun, romantisme itu menyimpan realitas yang tak selalu indah. Di balik setiap kayuhan, ada tenaga yang terkuras. Di balik setiap senyum pengayuh, ada napas yang tertahan menahan lelah. Persaingan dengan kendaraan bermotor membuat penghasilan tukang becak tak lagi stabil.
Dan ironisnya, sebagian becak yang dulu terkenal karena “ramah lingkungan”, telah beralih menjadi bentor, becak bermesin bensin yang justru menambah polusi.
Di titik inilah muncul pertanyaan besar, haruskah tradisi dibiarkan berjalan mundur, ataukah ia bisa ikut bergerak maju tanpa kehilangan jiwanya?
Pertanyaan itu kemudian dijawab oleh pemuda bernama Syahrul Awalludin Sidiq, yang sosoknya kini dikenal sebagai motor penggerak becak listrik di Yogyakarta.
Berawal Dari Hobi Elektrik Menjadi Gerakan Kota
|  | 
| Syahrul Awalludin (di tengah), pencetus gerakan becak listrik di Yogyakarta (gambar : instagram @syahrull_awal) | 
Syahrul Awalludin bukanlah sosok terkenal, ia bukan pejabat pemerintah maupun profesor yang menulis teori teknologi. Ia hanya seorang yang bertindak nyata dan percaya bahwa inovasi harus turun ke jalan, bukan hanya berakhir di proposal.
Melalui perusahaannya, Astrobike, Syahrul sebenarnya sudah lebih dulu mempopulerkan sepeda listrik sebagai transportasi masa depan. Dalam berbagai kesempatan, ia kerap mengatakan bahwa kendaraan listrik bukan gaya hidup mahal, melainkan solusi hemat dan sehat untuk mobilitas harian.
Kepercayaannya terhadap teknologi ramah lingkungan ini semakin kuat ketika ia menyaksikan kondisi pengayuh becak yang semakin terpinggirkan. Dari situlah muncul ide brilian.
“Orang kota saja bisa naik sepeda listrik untuk menghemat tenaga, kenapa tukang becak tidak bisa?”
Ide tersebut kemudian berkembang, bukan sebatas wacana. Syahrul menggandeng perguruan tinggi seperti Universitas Ahmad Dahlan (UAD) melalui kerja sama riset dan edukasi.
Lahirnya Becak Listrik yang Modern dengan Bentuk Tradisional
|  | 
| Gambar : warta.jogjakota.go.id | 
Banyak inovasi mati bukan karena teknologinya buruk, melainkan karena tidak melibatkan manusia yang akan menggunakannya. Syahrul paham betul hal ini.
Maka alih-alih menciptakan becak listrik dari pabrik mewah dan langsung dibagikan begitu saja, ia memilih jalan berbeda. Keluar dari zona nyaman dan membangunnya bersama para tukang becak.
Mereka diajak berdiskusi, bagaimana posisi duduk yang nyaman, seberapa kuat tenaga bantu yang dibutuhkan, apakah tuas akselerasi diletakkan di kanan atau kiri. Detail teknis yang mungkin dianggap remeh oleh sebagian orang, justru menjadi kunci penerimaan di lapangan.
Dan dari pendekatan itu, lahirlah model becak listrik yang tidak kaku seperti kendaraan pabrik, tapi tetap mempertahankan bentuk tradisional becak, hanya saja kini dengan motor listrik yang bisa menempuh hingga 30 kilometer dalam sekali isi daya.
Kamu bisa bayangkan, bukan? Becak yang dulu harus dikayuh berat-berat, kini bisa melaju ringan bahkan saat menanjak. Tanpa suara bising. Tanpa asap. Tenaga manusia tetap digunakan, tapi tidak lagi menyiksa.
Bengkel menjadi laboratorium. Pengayuh becak menjadi narasumber utama. Teknologi tidak dipaksakan, tetapi disesuaikan dengan kebutuhan mereka yang akan menggunakannya.
Langkah Kecil Berbuah Pengakuan
| .jpeg) | 
| Gambar : warta.jogjakota.go.id | 
Dan langkah kecilnya itu akhirnya berbuah pengakuan. Aksi nyata Syahrul lewat “Becak Listrik dengan Konsep Social Movement untuk Penunjang Ekonomi Tukang Becak” berhasil mendapatkan apresiasi bergengsi dari SATU Indonesia Awards 2024 bidang teknologi.
Bagi Syahrul dan timnya, SATU Indonesia Awards 2024 bukanlah garis akhir, melainkan garis awal dari perjalanan yang lebih besar. Penghargaan itu menjadi bukti bahwa becak listrik bukan sekadar proyek teknis, melainkan gerakan kemanusiaan yang menyentuh langsung kehidupan para pengayuh.
Mereka percaya, jika Yogyakarta bisa memulainya, maka kota lain pun bisa menyusul. Bayangkan bila di tiap sudut kota wisata di Indonesia, dari Sabang hingga Merauke, hadir becak-becak listrik yang bersih, nyaman, dan membanggakan.
Bukan hanya wisatawan yang senang, tetapi para tukang becak pun bisa pulang dengan senyum lebih lebar karena jerih payah mereka dihargai secara layak.
Dan tahukah kamu, yang menarik justru bukan penghargaan itu, melainkan cara gerakannya dibangun.
Mengayuh bersama Pemerintah
|  | 
| Gambar : warta.jogjakota.go.id | 
Gerakan sosial Becak Listrik yang diinisiasi oleh Syahrul semakin kuat ketika Pemerintah Kota Yogyakarta ikut turun tangan. Mereka melihat potensi besar dalam modernisasi becak tanpa menghilangkan karakter budaya.
Sejak 2023, bentor (becak bermotor berbahan bakar bensin) di kawasan Malioboro mulai diganti secara bertahap dengan becak kayuh listrik.
Berdasarkan data resminya, pada 2023, 50 unit pertama becak listrik diluncurkan, menyusul 40 unit tambahan pada tahun 2024. Nah, di tahun 2025 saat ini sudah ada perencanaan untuk penambahan 50 unit lagi.
Setiap unit memang menelan biaya yang tidak sedikit, yakni sekitar Rp50 juta tapi pemerintah melihat aksi yang diinisiasi oleh Syahrullah ini merupakan investasi masa depan, bukan sekadar pengeluaran.
Apalagi kawasan Malioboro termasuk dalam Sumbu Filosofi Yogyakarta yang ditetapkan UNESCO sebagai kawasan rendah emisi. Tentunya kehadiran becak listrik tidak hanya memperindah estetika kota, tetapi juga mendukung komitmen internasional.
Yang menarik lagi, para pengayuh yang sudah mencoba becak listrik ini merasakan langsung manfaatnya.
“Rasanya tetap seperti becak, tapi lebih ringan. Tidak ngos-ngosan lagi.”
Kalimat sederhana, namun menyimpan makna mendalam, teknologi yang baik adalah yang membuat hidup manusia lebih ringan, tanpa mengubah jati dirinya.
Menjaga Tradisi Bukan Berarti Berjalan di Tempat
Ada pandangan bahwa melestarikan budaya berarti membiarkannya tetap seperti dulu. Padahal, jika budaya tidak bergerak mengikuti zaman, ia bukan lagi identitas hidup, melainkan kenangan museum.
Hadirnya gerakan becak listrik membuktikan bahwa tradisi bisa masuk ke masa depan tanpa kehilangan ruhnya, inovasi tidak harus menggantikan budaya, sebaliknya,justru melindunginya dan teknologi terbaik bukan yang paling canggih, tapi yang paling berdampak
Bayangkan bila suatu hari wisatawan datang ke Yogyakarta, dan mereka tidak hanya melihat becak seperti dulu, tapi becak versi masa depan elegan, bersih, senyap, tetap hangat. Bukankah itu bentuk kebanggaan baru?
Satukan Gerak, Terus Berdampak
|  | 
| Gambar : instagram/syahrul_awall | 
Pada akhirnya, keberhasilan becak listrik bukan hanya karena teknologinya , tetapi karena semangat gerakan kolektif di belakangnya.
Ada Syahrul yang datang membawa ide. Ada Perguruan tinggi yang turut terlibat dengan membawa riset. Ada Pemerintah yang hadir untuk membawa kebijakan Ada komunitas-komunitas yang membawa dukungan publik. Dan ada pengayuh yang memmbawa semangat hidup
Semua ikut mengayuh bukan dengan tangan, tapi dengan komitmen yang sama yakni menjaga warisan, sambil menyambut masa depan.
Karena perubahan sejati memang tidak pernah berdiri sendirian. Perubahan itu lahir ketika banyak orang melangkah ke arah yang sama, meski kecepatannya berbeda. Satukan gerak, terus berdampak dari jalanan kecil Malioboro, untuk inspirasi seluruh Indonesia
Referensi :
Posting Komentar untuk "Ketika Kayuhan Menjadi Gerakan, Cerita di Balik Lahirnya Becak Listrik Yogyakarta"